Jan 5, 2010

Mendidik Anak Tak Mesti dengan Luapan Emosi


Dua tahun lalu, alhamdulillah saya pernah menjadi guru tetap anak-anak TPQ di sebuah masjid daerah kampung saya. Hampir setiap bada shalat maghrib saya selalu mengajar anak-anak untuk membaca al-qur'an. Awalnya saya amat puas dan senang karena bisa mengajari anak-anak membaca alqur'an sampai bisa paham dan lancar membacanya. Disamping itu juga, agar saya bisa berlatih berbicara dan mendongeng islami kendati dihadapan anak usia belia.
Ternyata respon anak-anak sangat antusias dan lebih giat bersemangat dalam membaca alqur'an. Selang dua minggu berjalan, entah kenapa anak TPQ mulai menunjukkan perubahan sikapnya. Sifat mereka yang dulunya pendiam dan penurut, kini lambat laun menjadi manja dan pemalas dalam membaca alqur'an. Kadangkala sebelum saya tiba untuk mengajar, tiba-tiba anak-anak menjadi beringas, suka main-main di masjid hingga membuat kegaduhan yang sulit untuk dileraikan. Akibatnya imam masjid kampung saya menjadi emosi meluap-luap kepada anak-anak. Terlebih lagi saya yang kena sasaran getahnya, karena dikatakan saya tidak becus dalam mendidik anak-anak. Oleh karena itu, saya sempat kesal, kecewa dan frustasi pada anak-anak yang tidak karuan dengan sikapnya. Saya lalu menghimpun mereka di samping ruang beranda masjid. Karena emosi saya yang meluap-luap akhirnya saya marahi anak-anak satu per satu atas kelakuan tadi agar jangan sampai mengulangi perbuatannya lagi. Selang dua hari berlalu ternyata kegaduhan di masjid karena ulah anak-anak mulai kambuh lagi. Saya sempat ditegur dan dimarahi oleh imam masjid dan para jamaah masjid di kampung saya setelah bada maghrib. Sampai akhirnya saya merasa kesal dan kecewa lagi. Hampir saya makin berputus asa kapok tidak akan mengajar anak-anak lagi. Selanjutnya dengan berat hati saya mengumpulkan anak-anak kembali. Secara spontan saya mengambil air wudlu untuk mendinginkan kepala. Lalu saya diamkan mereka. Saya liat anak-anak diam lusuh tertunduk tanpa kata sedikit pun terucap dimulutnya. Mungkin dikira saya akan memarahinya lagi. Setelah hati saya melunak dan kepala mulai dingin, saya ajari anak-anak membaca alqur'an lagi dan saya sisipkan kedalam hati mereka dengan bahasa santun, bahasa cinta untuk mendamaikan hati mereka. Saya ceritakan sejarah islam. Sesekali dengan senda gurau, canda tawa yang menghiasi mereka agar tak jenuh. Akhirnya semenjak metode pengajaran itu saya terapkan dengan penuh kesabaran, komunikasi yang interaktif, dan tak lupa ikhtiar dan berdoa, alhamdulillah sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Anak-anak sadar dan penuh keikhlasan mulai semangat untuk membaca alqur'an lagi. Alhamdulillah dari peristiwa di atas, saya mulai tersadar ternyata mendidik anak tak mesti dengan luapan emosi yang menggebu-gebu. Akan tetapi yang terpenting adalah mengajari mereka dengan sepenuh hati, ketulusan dan kasih sayang.

No comments :

Post a Comment

silakan masukan komentar anda?